Teten berujar, para korban koperasi bermasalah itu merupakan investor yang berinvestasi dengan iming-iming bunga besar. Walhasil, ketika koperasi bermasalah, mereka tidak berembug mencari jalan keluar selayaknya anggota koperasi.
Pasalnya, relasi yang terbentuk antara anggota dengan pemilik koperasi sudah selayaknya relasi nasabah dan penyedia layanan keuangan. Hal itu, kata Teten, terjadi bukan karena minimnya edukasi. Namun, skala koperasi yang terlalu besar.
"Anggotanya skala nasional. Banyak. Rapat anggota tahunan juga sulit," kata Teten.
Belum lagi, kata Teten, ada oligarki yang tumbuh dalam koperasi besar itu sehingga koperasi dikuasai orang-orang kuat. "Pengurus dan pengawas juga itu-itu saja. Rapat anggota tahunan bagaimana mau efektif kalau anggota juga sulit ikut ambil keputusan kebijakan," katanya.
Sementara ini, lanjut Teten, yang dilakukan pemerintah adalah memperbaiki kelembagaan koperasi, termasuk merevisi UU Perkoperasian yang saat ini sudah masuk tahap harmonisasi. "Kami ke Mensesneg sedang mencopa percepatan agar surpres (surat presiden) segera keluar," ujar Teten.
Pilihan Editor: Operasional Terbatas LRT Jabodebek, Dirut KAI: Ada 22 Perjalanan per Hari pada 12-26 Juli