TEMPO.CO, Jakarta - Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Parjiono, menjelaskan pentingnya strategi pebiayaan dan asuransi risiko bencana (PARB). Hal tersebut disampaikannya dalam acara diskusi Disaster Risk Financing & Insurance and Adaptive Social Protection Implementation in Indonesia di Yogyakarta.
Di awal Parjiono menceritakan peristiwa gempa magnitudo 6,4 yang terjadi 10 hari lalu di Yogyakarta. Pusat gempa terjadi di 86 kilometer barat daya Bantul, yang mengakibatkan sekitar 137 rumah dan 35 fasilitas umum rusak. Namun, kata dia, kerusakan itu lebih ringan dibandingkan gempa Yogyakarta yang terjadi pada 2006 silam. Dampaknya menimbulkan kerugian sekitar Rp 29 triliun.
Sayangnya pada saat itu Indonesia belum ada strategi kebijakan untuk pembiayaan dan asuransi risiko bencana. “Kerugian yang ditransfer ke sektor asuransi hanya senilai kurang lebih Rp 300 miliar. Kalau dihitung kurang lebih hanya 1 persen dari total kerugian,” ujar dia dikutip dari siaran langsung akun YouTube Kemenkeu RI, pada Senin, 10 Juli 2023.
Sehingga hampir semua rehabilitasi dan rekonstruksi dari dampak gempa tersebut harus ditanggung oleh anggaran pendapatan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Yang merupakan anggaran nasional.
Lalu, 12 tahun kemudian, kata Parjiono, serangkaian bencana berskala besar masih terus terjadi di Indonesia. Di antaranya gempa dan likuifaksi di Sulawesi Tengah, gempa di Lombok, serta tsunami yang ada di Selat Sunda pada tahun 2018.
Bahkan, secara keseluruhan pada tahun yang sama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadi lebih dari 2.500 bencana. Yang menyebabkan lebih dari 3.300 orang meninggal, 10 juta orang mengungsi, 300 ribu unit rumah rusak rusak, dengan kerugian ditaksir Rp 100 triliun.
“Rentetan bencana yang terjadi dengan besarnya kerugian ekonomi tentunya memicu pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan strategi dan menyusun strategi pebiayaan dan asuransi risiko bencana pada tahun 2018,” ucap dia.
Parjiono menjelaskan strategi pebiayaan dan asuransi risiko bencana bertujuan meningkatkan kemampuan pembiayaan untuk penanggulangan bencana. Juga membangun resiliensi ekonomi di tengah terjadinya berbagai bencana di Indonesia.
Melalui strategi ini, dia berujar, kapasitas pendanaan penanggulangan bencana ditingkatkan dengan pencarian alternatif sumber pembiayaan yang baru di luar APBN. Selain itu sebagian risiko bencana juga dapat ditransfer melalui asuransi.
“Strategi penanggulangan bencana ini telah juga mendapat pengakuan dari berbagai organisasi internasional. Sebagai pencapaian yang signifikan dalam rangka memperkuat pendanaan risiko bencana,” tutur Parjiono.
Alasannya, menurut dia, karena Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang telah memiliki strategi nasional mengenai itu. Salah satu instrumen utama dalam strategi tersebut adalah pooling fund bencana (PFB), sebuah skema mengumpulkan, mengembangkan, dan menyalurkan dana dalam penanggulangan bencana.
Dana ini juga bersifat fleksibel, responsif, berkelanjutan, serta lengkap dari APBN atau budget sebagai sumber pembiayaan bencana yang memadai dan dapat diandalkan dalam jangka panjang. “Konsep desain dan manfaat di PFB ini akan kita bahas dan diskusikan secara detil rinci di seminar pada pagi hari ini,” kata Parjiono.
Pilihan Editor: KPK Minta Kemenkeu Evaluasi Pengawasan Internal Buntut Kasus Rafael Alun, Ini Komentar Stafsus Sri Mulyani