TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan transisi energi di Indonesia butuh biaya besar. Dana hibah senilai US$ 160 juta dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP) sangat tidak mencukupi.
"Minimal 10 hingga 15 persen dari dana hibah IPG (International Partners Group)," kata Fabby dalam konferensi pers di Ayana Midplaza Jakarta, Selasa, 27 Juni 2023.
Angka tersebut setara US$ 1,5 miliar hingga US$ 2 miliar dari total dana JETP yang dijanjikan, yakni sebesar US$ 20 miliar. Fabby mengatakan, 10 hingga 15 persen dana hibah tersebut bisa digunakan untuk mengeksekusi program menuju net zero emission (NZE) pada 2023.
Adapun skema pendananaan transisi energi melalui skema JETP ini disepakati dalam KTT G20 di Bali pada November 2022.
Fabby menjelaskan, berdasarkan kajian IESR, Indonesia membutuhkan dana US$ 1,3 triliun untuk melakukan transisi energi hingga 2050. Artinya, butuh dana rata-rata US$ 30 miliar hingga US$ 40 miliar per tahun hingga 2050.
"Kalau sampai 2030, dari kajian kami, butuh paling tidak US$ 130 miliar," kata Fabby.
Dana sebesar itu, kata Fabby, dibutuhkan untuk melakukan pensiun dini PLTU batu bara, pelaksaan program energi baru terbarukan (EBT), dan proses transisi yang berkeadilan.
Selanjutnya: Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana mengatakan....