TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan komoditas yang diekspor bukan pasir laut, melainkan hanya hasil sedimentasi. Ahli Ekologi dari Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan, Romi Hermawan meragukan pemerintah hanya mengekspor hasil sedimentasi soal pembukaan kembali ekspor pasir laut.
"Perlu diperjelas, apakah sedimen itu sebenarnya laku dijual untuk proyek reklamasi? Ditambah kita tahu sendiri keterbatasan pengawasan KKP seperti apa," ujarnya dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada Selasa, 13 Juni 2023.
Terlebih, ia menilai satu-satunya pasar ekspor pasir laut adalah Singapura. Menurutnya, Singapura belum tentu mau membeli hasil sedimen di laut karena tak sesuai dengan kebutuhan reklamasi di negaranya. Padahal, Singapura sudah menyiapkan dana untuk megaproyek reklamasi pelabuhan terbesar di Asia.
Sementara penambangan pasir laut berpotensi merusak ekosistem laut dan mengganggu kehidupan masyarakat pesisir. Belum lagi, lokasi tambang pasir yang berpindah-pindah membuat pengawasan sulit dilakukan. Di sisi lain, pengawasan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan nelayan kecil tak akan mampu melawan perusahaan pengeruk pasir raksasa.
Lemahnya pengawasan KKP juga menjadi sorotan DPR. Anggota Komisi IV Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Slamet ragu akan pemerintah bisa meraup potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang besar dari kebijakan ekspor pasir laut. Pasalnya, ia menilai selama ini pengawasan pemerintah masih sangat lemah.
Baca juga:
Pengawasan lemah memperkaya segilintir kelompok