Eko juga menjelaskan saat ini belum ada kesepakatan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah Amerika. Dewan meminta plafonnya dinaikan tanpa mengurangi berbagai macam penyesuaian atau pengetatan anggaran, sementara pemerintah berharap mungkin bisa dinaikan tapi meminta cukup besar sekali pemotongan anggaran untuk efisiensi.
“Jika tidak terjadi kesepakatan antara DPR dan Pemerintah Amerika, maka akan terjadi seperti yang dikatakan Menteri Keuangan Janet Yellen yakni berdampak serius bagi aktivitas ekonomi negara itu,” ujar dia.
Ujungnya, Eko melanjutkan, bisa terjadi resesi karena Amerika adalah mitra dagang salah satu yang terbesar bagi Indonesia—nomor dua untuk nonmigas maka bisa berdampak bagi Tanah Air. “Jadi kalau ekonomi Amerika turun maka akan berimbas kepada ekonomi Indonesia. Sebetulnya inti relasinya itu ada di situ, kenapa ini menjadi konsen,” tutur dia.
Menurut Eko, kejadian potensi gagal bayar utang Amerika sebetulnya sudah terjadi beberapa kali, khususnya yang berkaitan dengan batas utang—walaupun dalam praktiknya belum pernah Amerika sampai gagal bayar. Penyebabnya, dia berujar, meski terjadi berbagai macam pro dan kontra, akhirnya biasanya secara politik kenaikan plafon itu disepakati dan batasannya dinaikan.
Dia mencontohkan peristiwa itu terjadi beberapa tahun lalu karena ada pandemi Covid-19. Jika dilihat penyebabnya kenapa utang terus membengkak saat itu karena memang penanganan Covid-19 itu membutuhkan biaya yang banyak.
“Kemudian melonjakan utang dan sebetulnya juga sudah ada plafon yang naik pada 2021 tapi ternyata terlewati juga di 2023 ini,” ucap Eko.
Pilihan Editor: Dampak Potensi Gagal Bayar Utang AS Bisa Menghantam Ekonomi Indonesia, Ini Alurnya
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini