TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan pemerintah seharusnya tidak memberikan izin perpanjangan relaksasi ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia (PTFI). Izin tersebut, mestinya berakhir Juni 2023 tetapi diperpanjang hingga Mei 2024.
"Padahal pelarangan ekspor konsentrat itu berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang melarang ekspor tambang dan mineral mentah tanpa hilirisasi di dalam negeri," kata Fahmy dalam keterangan tertulis, Senin, 1 Mei 2023.
Pemerintah tidak hanya sekali dua kali memberikan izin relaksasi ekspor konsentrat kepada PTFI. Bahkan sejak 2014, lanjut Fahmy, sudah lebih dari delapan kali izin tersebut diberikan dengan janji pembangunan smelter.
"Namun, Freeport selalu ingkar janji untuk menyelesaikan pembangunan smelter hingga kini," ujar Fahmy.
Menurut dia, pemberian relaksasi ini bakal memicu ketidakpastian hukum yang menyebabkan investor smelter hengkang dari Tanah Air. Selain itu, menimbulkan diskriminasi terhadap pengusaha nikel dan bauksit yang sudah diwajibkan melakukan hilirisasi di smelter dalam negeri. Mereka pun bisa saja menuntut relaksasi ekspor serupa.
"Kalau pemerintah menuruti tuntutan tersebut, program hilirisasi akan porak poranda," kata Fahmy. "Padahal tujuan mulia program Jokowi dalam hilirisasi adalah menaikkan nilai tambah dan mengembangkan ekosistem industri."
Selanjutnya: ancaman PTFI menghentikan produksi dan melakukan PHK