Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan selama ini pemerintah belum memiliki data yang valid terkait berbagai hal tentang agro industri sawit. Selain itu, Achmad berujar sangat sedikitnya data-data yang bisa diakses oleh publik untuk memantau pengelolaan perkebunan sawit.
Padahal, ia menilai keterbukaan penting untuk melakukan pengawasan. Sebagai gambaran saja, tuturnya, masih ada perbedaan data luasan perkebunan sawit antara instansi pemerintah. "Ada 16,3 juta hektar, ada 16,8 juta hektar," kata dia.
Rambo pun berharap hasil audit ini nantinya diikuti dengan penegakan hukum jika ditemukan adanya pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan aktivitas berusaha di industri sawit. Tanpa penegakan hukum yang tegas, menurutnya, perbaikan tata kelola sawit akan percuma karena pelanggaran akan terus berulang.
Di sisi lain, ia menilai sebenarnya pemerintah telah mempunyai kebijakan yang baik, tetapi miskin dalam implementasinya. Misalnya, Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit atau yang dikenal sebagai Inpres Moratorium Sawit Aturan ini berakhir pada November 2021 lalu.
Sampai hari ini, ucap Rambo, masyarakat tidak tahu apa hasil dari tim kerja dalam inpres moratorium tersebut. Padahal, tujuan dan kerangka kerja dalam tim kerja moratorium sawit ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan satuan tugas yang baru dibentuk, yakni untuk perbaikan tata kelola agro industri sawit–meski Satgas Sawit lebih fokus pada pendapatan negara.
"Jadi jangan sampai pemerintah berkutat pada pembentukan tim-tim terus, tetapi persoalan utama perkebunan sawit masih terus saja eksis dan tak terselesaikan hingga akarnya," kata dia.
Pilihan editor: Kembali dari China, Luhut Sebut Kereta Cepat Beroperasi Agustus 2023
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini