TEMPO.CO, Jakarta - Proyek pembangunan base transceiver station (BTS) 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika bermasalah sejak perencanaan hingga pelaksanaan. Dalam pemeriksaannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi pemborosan anggaran hingga Rp 1,5 triliun.
Sebagaimana Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas Pengelolaan Belanja Tahun Anggaran 2021 Kominfo, pemborosan anggaran yang sempat dicatat BPK tersebut merupakan dana komponen capital expenditure (Capex) alias belanja modal.
Antara lain biaya penggunaan helikopter dan sejenisnya yang mencapai Rp 1,4 triliun. Begitu pula dengan biaya training dan servis lainnya yang masing-masing senilai Rp 30,9 miliar dan Rp 60,6 miliar.
Komponen kedua yakni operational expenditure (OPEX) alias biaya operasional, berupa biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal atau Universal Service Obligation (USO) sebesar Rp 52 miliar. Namun belakangan, dana tersebut dikembalikan sesuai permintaan BPK.
Tak cuma soal pemborosan anggaran, Anggota III BPK Achsanul Qosasi mengatakan kejanggalan lain yang ditemukan adalah proses penentuan lokasi yang pembangunan BTS yang tidak sesuai ketentuan. Dari sebanyak 7.904 titik yang ditentukan, tidak mengacu pada hasil pengecekan ke lapangan.
“Mereka tidak turun ke lapangan. Sehingga saat pelaksanaan pembangunan, ada banyak titik yang ternyata tidak membutuhkan pembangunan BTS karena di sana sudah ada BTS milik Telkomsel,” ujar Achsanul Qosasi.
Selanjutnya: Tower BTS dibangun di desa yang sudah memiliki pemancar