“Dampaknya dapat membengkakkan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian,” ujar Fahmy.
Lebih lanjut, Fahmy menilai power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen dengan penetapan tarif listrik yang diserahkan kepada mekanisme pasar. Sebab skema ini akan membuat tarif listrik bergantung demand and supply. “Pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan.”
Fahmy menyebut power wheeling sebagai liberalisasi kelistrikan yang melanggar Pasal 33 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Dia juga mengatakan power wheeling merupakan pola unbundling yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Pola unbundling itu sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui keputusan Nomor 111/PUU-XIII/2015, MK memutuskan bahwa unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan UUD 1945. Lalu, UU itu diganti dengan UU No. 30 Tahun 2009, dengan menghilangkan pasal unbundling.
Baca: 4 Poin Penting yang Disebut Rhenald Kasali agar Indonesia Tidak Resesi, Apa Saja?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.