TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo alias Jokowi telah meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja. Penerbitan Perpu Cipta Kerja tersebut diumumkan pada Jumat, 30 Desember 2022 lalu.
Perpu yang menggantikan UU Cipta Kerja itu mengatur berbagai hal yang terangkum dalam 186 pasal di bundel di dalam berkas salinan sebanyak 1.117 halaman. Salah satunya mengatur tentang pemutusan hubungan kerja atau PHK, tepatnya di dalam pasal 151.
Baca: Outsourcing Dibatasi dalam Perpu Cipta Kerja, Kemnaker Bakal Revisi PP Nomor 35 Tahun 2021
“Ketentuan pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Ayat 1, pengusaha, pekerja/ buruh, serikat pekerja/ serikat buruh, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK,” demikian termaktub dalam Perpu Cipta Kerja yang dikutip pada Sabtu, 7 Januari 2023.
Di ayat 2, disebutkan bahwa dalam hal PHK tidak dapat dihindari, maksud dan alasan PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/ buruh, serikat pekerja/ serikat buruh.
Baca juga:
Sementara di ayat 3, dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak PHK, penyelesaiannya wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/ buruh, serikat pekerja/ serikat buruh.
Selain itu, dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat 3 tidak mendapatkan kesepakatan, PHK dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hal tersebut termaktub dalam ayat 4.
Dalam Perpu Cipta Kerja juga dijelaskan terdapat pasal 151A di antara pasal 151 dan pasal 152. Bunyinya, pemberitahuan yangdimaksud dalam Pasal 151 ayat 2 tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal pekerja/ buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri; berakhir Hubungan Kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu; mencapai usia pensiun sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama; atau meninggal dunia.
“Pasal 152 dihapus,” tertulis dalam Perpu Cipta Kerja.
Alasan yang tak bisa digunakan pengusaha untuk PHK
Kemudian di pasal 153 ayat 1 mengatur tentang pengusaha dilarang melakukan PHK kepada pekerja/ buruh dengan beberapa alasan. Berikut beberapa alasan pengusaha melakukan PHK yang dilarang dalam aturan tersebut:
a. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus.
b. Pegawai berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Pegawai menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
d. Pekerja menikah
e. Pegawai hamil, melahirkan, mengalami gugur kandungan, atau tengah menyusui bayinya.
f. Pekerja mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan.
g. Karyawan mendirikan, menjadi anggota dan atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
h. Pegawai mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan juga dilarang terkena PHK.
i. Karyawan yang berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
j. Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
“PHK yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/ buruh yang bersangkutan,” bunyi pasal 153 ayat 2. Sementara pasal 154 dihapus.
Selanjutnya: Alasan yang boleh digunakan pengusaha...