Kronologi Gugatan Larangan Ekspor Nikel
Pangkal bala tuntutan Uni Eropa ini adalah pengumuman larangan ekspor bijih mentah (ore) nikel oleh pemerintah Indonesia. Larangan ekspor bijih nikel mulai berlaku 1 Januari 2020.
Menjelang larangan diberlakukan, Menteri Investasi atau Kepala BKPM Bahlil Lahadalia berdialog bersama para penambang dan pemilik smelter di Tanah Air. Lantaran ekspor dilarang, penambang diminta menjual hasil tambang mereka ke pabrik smelter lokal.
Pada 12 November 2019, BKPM, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dan Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) menyepakati harga jual ore nikel ke smelter atau pabrik pengolahan dalam negeri sebesar US$ 30 per metrik ton.
Reaksi datang dari salah satu konsumen nikel Indonesia yaitu negara-negara di Uni Eropa. Pada 22 Desember 2019, Uni Eropa menyampaikan pemberitahuan ihwal gugatan kepada Duta Besar Indonesia di Jenewa.
Tak hanya itu, Asosiasi Produsen Baja Eropa atau EUROFER mendukung rencana gugatan Uni Eropa ke WTO. Dukungan disampaikan karena 55 persen dari bahan baku yang dibutuhkan pabrik baja anti-karat di Eropa adalah bijih nikel.
"Kami menyambut baik bahwa Uni Eropa telah memilih untuk mengambil tindakan melawan Indonesia di WTO, atas dasar pelanggaran terhadap aturan perdagangan,” kata Direktur Jenderal EUROFER, Axel Eggert, dalam keterangan pers di laman resmi mereka di Brussels, Belgia, 22 November 2019.
Kabar soal gugatan Uni Eropa ini kemudian direspons oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ia menyatakan tidak takut terhadap gugatan dan siap menghadapinya."Digugat ke WTO enggak apa-apa, kami hadapi. Jangan (kira) digugat terus grogi, enggak," kata Jokowi, 12 Desember 2019.
FAJAR PEBRIANTO
Baca juga: Rayu PM Australia yang Miliki Lithium, Jokowi: RI Punya Nikel, Kalau Digabung Jadi Mobil Listrik
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini