"Seperti India terdepresiasi 10,42 persen, Malaysia 11,75 persen, dan Thailand 12,55 persen. Depresiasi tersebut sejalan dengan menguatnya dolar AS dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global," kata Perry.
Menurutnya, melemahnya nilai tukar mata uang negara berkembang terhadapi dolar AS lebih disebabkan pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara, terutama AS untuk merespons tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global.
Untuk itu, ke depan Bank Indonesia kata dia akan terus mencermati perkembangan pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.
BI pun hari ini juga telah menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin menjadi 4,75 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 5,50 persen.
Keputusan kenaikan suku bunga ini kata dia sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi atau overshooting dan memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3 persen plus satu persen lebih awal yaitu ke paruh pertama 2023.
Selain itu juga untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat semakin kuatnya mata uang dolar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.
Baca juga: Ancaman Resesi 2023, Chatib Basri Beberkan Apa Saja yang Akan Dialami Indonesia
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini