Ketiga, menata ulang tanah sebanyak 52 bidang rumah dan tanah bersertipikat hak milik (SHM). Keempat, sebagai bagian dari pemulihan hak atas tanah yang telah digusur, pemerintah membangunkan rumah masyarakat beserta fasilitas umum dan sosial bagi subyek prioritas. Kelima, setiap kementerian/lembga menjalankan hasil kesepakatan bersama dengan jelas dan tuntas.
“Perlu diingat kesepakatan luasan alokasi tanah di atas sudah turun jauh dari tuntutan dan hak masyarakat yang sebenarnya harus diterima. Apalagi ada pula SHM warga beserta rumah dan pekarangannya yang harus dipulihkan akibat peristiwa penggusuran tahun 2020,” tutur Dewi.
Namun, Dewi melanjutkan, selama dua tahun bergulir, banyak pihak dari kelementerian/lembaga mengklaim kasus ini telah diselesaikan. Bahkan, dia berujar, kasus ini dimanfaatkan sebagai cerita sukses penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria. “Padahal tanah belum kembali ke tangan petani,” ucap Dewi.
Dewi melanjutkan, dalam kunjungan Jokowi ke Pasar Petisah di Kota Medan, para petani sempat kembali mendatangi presiden akibat janji itu tidak terealisasi. Sekali lagi, Jokowi pun memanggil Gubernur Sumatera Utara ke Istana. Sejumlah rapat kembali digelar. “Namun, realisasi penyelesaian tidak kunjung dilaksanakan oleh gubernur, Kementerian BUMN, KSP dan ATR/BPN,” kata Dewi.
Dewi menilai kejadian ini sangat miris. Tiga pertemuan Jokowi dengan petani dan rapat tingkat menteri tidak menghasilkan penyelesaian. “Lebih miris, puluhan rapat-rapat tindak lanjut itu tidak melibatkan petani Simalingkar-Sei Mencirim dan organisasi masyarakat sipil, hanya surat antar kementerian/ lembaga saja yang diterbitkan,” ujar dia.
Pada 10 Oktober 2022, perwakilan petani Desa Sei Mencirim dan Simalingkar kembali melapor ke Sekretariat Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Mereka bertekad tidak akan kembali melapor ke Jokowi sebelum ada eksekusi lahan/
Kemudian, pada 11 Oktober, perwakilan dari Sekretariat Tani Mencirim Bersatu dan Serikat Tani Simalingkar Bersatu bertemu dengan Wakil Menteri ATR/BPN di kantor Kementerian untuk kembali menagih dan mendorong penyelesaian. “Menindaklanjuti pertemuan, kabarnya Menteri ATR/BPN telah bertemu Menteri BUMN untuk mendorong percepatan penyelesaian,” kata Dewi.
KPA, Dewi melanjutkan, melihat belum ada iktikad penuh dari kabinet Jokowi untuk menuntaskan konflik agraria secara tepat, cepat. dan efektif. Pendekatan prosedural normatif juga dinilai menghambat reforma agraria di PTPN yang selama ini tetap jadi acuan, minus terobosan, ego sektoral, dan saling lempar tanggung jawab.
“Kami melihat kecenderungan menguapkan kembali keputusan yang telah diambil pemerintah kepada masyarakat,” tutur Dewi.
Baca juga: Demo Hari Tani di Patung Kuda, Buruh Soroti Leletnya Pemerintah Atasi Konflik Lahan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.