TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyoroti pemerintah yang hingga kini masih terus menggenjot pembangunan infrastruktur. Ia menilai pembangunan infrastruktur akan kian mendorong ketergantungan yang besar terhadap impor besi, baja, dan mesin. Akibatnya, neraca perdagangan bakal terbebani.
Walaupun saat ini Indonesia masih beruntung karena defisit perdagangan bisa ditutup dengan kenaikan harga komoditas, menurut Bhima, harus diwaspadai ketika siklus harga mulai berbalik.
"Ketika booming harga komoditasnya turun, maka banyak infrastruktur yang menjadi beban bagi defisit impor. Yang terakhir adalah utilitas," ujarnya saat dihubungi Tempo, Jumat, 16 September 2022.
Selain itu, ia menyebut ada masalah dalam pembangunan infrastruktur yakni efektivitas proyek yang tak sesuai dengan harapan.
Buktinya, biaya logistik yang seharusnya turun akibat adanya infrastruktur, nyatanya masih cukup tinggi berkisar 23,5 dari produk domestik bruto (PDB). Di lapangan juga tak terlihat penurunan biaya secara signifikan.
"Padahal tujuan awal infrastruktur itu meningkatkan konektivitas dan menurunkan biaya logistik, karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan biaya logistik yang paling mahal di kawasan," ucapnya.
Persoalan lainnya, menurut Bhima, adalah daya saing dan efisiensi investasi. Dengan pembangunan infrastruktur yang cukup masif, Incremental Capital Output Ratio Indonesia berada di tingkat delapan. Artinya berinvestasi di Indonesia semakin boros.
Selanjutnya: BUMN dalam kondisi berdarah dikorbankan untuk bangun infrastruktur.