Modus baru itu, menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Soetrisno, tekstil dan garmen itu masuk melalui Importir Produsen. Padahal, hasil penelusuran Asosiasi, Importir Produsen itu termasuk perusahaan yang sedang tidur.
"Perusahaan yang sebenarnya sudah tidak produksi, mau tutup, atau kolaps, tapi mengimpor bahan baku dan dijual di dalam negeri," Benny menjelaskan, di Departemen Perindustrian, Jakarta, Senin (23/2).
Benny meminta, Departemen Perdagangan bekerja sama dengan Asosiasi untuk menyortir daftar Importir Produsen tersebut. Alasannya, Departemen Perdagangan tidak bisa memantau situasi sampai detail. "Kami sudah melaporkan kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan, kami masih menunggu respon," ujarnya.
Asosiasi juga meminta adanya pengawasan pelaksanaan Instruksi Presiden Program Penggunaan Produk Dalam Negeri nomor 2 tahun 2009 di tiap instansi pemerintah. "Perlu diawasi pengadaan barangnya," kata Benny. Jika ada indikasi pelanggaran, katanya, maka perlu diberi sanksi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G. Ismy mengatakan nilai impor ilegal bisa dilihat dari angka selisih antara kebutuhan dengan total impor legal dan penjualan produk domestik.
Contohnya saja, kata dia, data Asosiasi, konsumsi domestik pada 2007 sebanyak 2,836 juta ton. Sementara penjualan produk lokal hanya 271 ribu ton dan impor legal 88 ribu ton. "Dari mana itu sisanya? Itu yang ilegal," kata Ernov.
Data yang dimiliki Asosiasi Pertekstilan Indonesia, pada tahun 2007, dari konsumsi tekstil sebesar 1,22 juta ton, sebesar 71 persen dikuasai impor tekstil ilegal atau setara 862 ribu ton. Sisanya, sebesar 7 persen impor tekstil legal (88 ribu ton) dan pasokan produsen tekstil domestik sebesar 22 persen (260 ribu ton).
Sementara nilai impor ilegal pada 2006 sebesar US$ 2,735 miliar atau Rp 32,669 triliun, sedangkan pada 2007 nilai impor meningkat hingga US$ 4,764 miliar atau Rp 56,905 triliun. Akibat impor tekstil ilegal tersebut, maka pemerintah diperkirakan mengalami kerugian atas kehilangan pajak sebesar US$ 1,310 miliar atau Rp 15,647 triliun.
NIEKE INDRIETTA