Pasal 9 ayat 3 dan ayat 4 dari aturan itu, misalnya, memastikan agar pemilik platform tidak mencantum informasi-informasi yang sifatnya ‘dilarang’, maupun memfasilitasi pertukaran data-data yang sifatnya ‘dilarang’. Lebih jauh lagi, yang dimaksud dengan data yang bersifat ‘dilarang’ merupakan data yang digolongkan antara lain melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
“Kami berpendapat bahwa pendefinisian ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ sangat luas sehingga dapat menimbulkan interpretasi ganda yang dapat digunakan oleh aparatur keamanan negara untuk mematikan kritik,” kata SAFEnet.
Selain itu, pasal 14 dari aturan itu memberikan kewenangan bagi kementerian atau lembaga, aparat penegak hukum dan atau lembaga peradilan untuk memutus akses terkait informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang.
Selanjutnya, pasal 14 ayat 3 menyatakan bahwa pemutusan akses dapat dilakukan dengan ‘mendesak’ apabila terkait dengan terorisme, pornografi anak, dan konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Bersamaan dengan pasal 9, pemberlakuan pelarangan untuk data yang bersifat ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ dengan interpretasi yang luas.
Lalu pada pasal 36 dalam peraturan Kominfo itu juga memberikan kewenangan bagi aparat penegakan hukum untuk meminta PSE lingkup privat agar memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data pribadi. SAFEnet menilai ini sangat rentan untuk disalahgunakan dalam praktik penegakan hukum, terutama bagi kerja-kerja pelindung hak asasi manusia yang berkenaan dengan isu-isu sensitif seperti isu perempuan, LGBTIQ, masyarakat adat, dan Papua.
Baca: Istaka Karya Pailit, Staf Khusus Erick Thohir Sebut Karyawan Diserap BUMM Sejenis
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.