TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustivandana mengatakan masifnya penerapan pajak karbon di Indonesia dapat menimbulkan potensi kebocoran penerimaan negara. Kebocoran itu dari penerapan pajak karbon yang teridentifikasi dilakukan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Dapat menimbulkan potensi kebocoran penerimaan negara yang berasal dari penerapan pajak karbon yang teridentifikasi dilakukan oleh para oknum serta pelaku usaha,” katanya dalam siaran virtual melalui YouTube pada Kamis, 30 Maret 2022.
Menurut Ivan, ada sejumlah pelanggaran yang kemungkinan terjadi pada penerapan pajak karbon. Tindakan yang masuk dalam pidana antara lain, tax evasion, tax fraud, korupsi, serta pencucian uang.
Fenomena ini dinilai mengglobal dan sesuai dengan penelitian dari Anticorruption Resource Center pada 2021. Hasil penelitian itu, kata Ivan, menyatakan korupsi pada pajak karbon dapat menurunkan atas pengenaan pajak karbon dari pelaku usaha.
“Sehingga berdampak tidak terwujudnya carbon net sink yang ditargetkan oleh pemerintah. Tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan tindak pidana asa dari pencucian uang,” tuturnya.
Ivan memaparkan, hasil penilaian risiko nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pemberantasan terorisme tahun 2021, telah menetapkan tindak pidana korupsi sebagai salah satu tindak pidana yang berisiko tinggi. Serta diikuti juga dengan tindak pidana perpajakan.
PPATK melihat perlu adanya upaya dari rezim antipencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme untuk mengawal pelaksanaan pajak karbon yang akuntabel, transparan, dan berintegritas.