TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia soal proyek smelter tembaga di Fakfak, Papua Barat, yang dialihkan ke Gresik, Jawa Timur ditengarai tidak memiliki alasan yang kuat.
Hal tersebut disampaikan oleh pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi. Ia menilai langkah masyarakat adat yang berencana melayangkan gugatan terhadap Menteri Bahlil melalui kuasa hukum Haris Azhar itu karena pada dasarnya tak ada alasan kuat memindahkan smelter.
“Itu ada keputusan yang blunder,” ucap Fahmy saat dihubungi, Kamis, 24 Maret 2022.
Fahmy menyatakan pemerintah Indonesia seharusnya bisa mengusahakan agar proyek smelter tetap dapat berjalan di lokasi yang telah direncanakan. Bila masalahnya adalah infrastruktur, ia yakin pemerintah dapat mengatasi dengan membangunnya secara cepat.
Adapun pemindahan proyek ini ditengarai akan merugikan masyarakat Fakfak lantaran kehilangan potensi serapan ekonomi. Masyarakat, kata dia, semestinya bisa mendapatkan nilai tambah dari peningkatan pajak hingga pembukaan lapangan pekerjaan.
Proyek smelter atau peleburan tembaga yang dimasalahkan masyarakat adat ini merupakan proyek PT Freeport Indonesia, PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID), dan China ENFI Engineering Indonesia. Ketiga perusahaan meneken nota kesepahaman pada 2021.
Menurut rencana awal, kapasitas peleburan tembaga akan mencapai 400 ribu ton per tahun jika smelter beroperasi. Adapun berdasarkan rencana investasinya, total kebutuhan modal untuk proyek ini US$ 2,3 miliar yang terbagi atas dua tahap.
Namun di tengah jalan, smelter itu dipindahkan ke Gresik, Jawa Timur. Pemindahan berlangsung saat ENFI sudah mengeluarkan preliminary study atau studi pendahuluan.