TEMPO.CO, Jakarta - Gugatan Bambang Trihatmodjo terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal kasus SEA Games XIX 1997 telah ditolak Mahkamah Agung (MA) pada Selasa, 15 Februari 2022 lalu.
Prisma Wardhana Sasmita selaku pengacara kliennya menghormati putusan tersebut. “Hal ini merupakan bagian dari proses mencari keadilan secara komprehensif dengan melihat sisi yuridis, sosiologis dan filosofis, obyektif dan bijaksana,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta pada Senin, 21 Februari 2022.
Prisma mengatakan Keputusan Menteri Keuangan No.108/KM.6/2020 tanggal 27 Mei 2020 Tentang Penetapan Perpanjangan Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah Republik Indonesia Terhadap Bambang Trihatmodjo sebagai Ketua Konsorsium Mitra Penyelenggara Sea Games XIX Tahun 1997 dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara, sudah tidak berlaku.
Menurut Prisma, hal tersebut dipertegas oleh majelis hakim yang menyatakan objek sengketa sudah tidak berlaku sehingga telah batal demi hukum dan tidak memiliki daya mengikat.
Pengacara itu menjelaskan, pertanggungjawaban atas piutang SEA Games 1997 adalah PT Tata Insani Mukti (PT TIM) selaku badan hukum pelaksana Konsorsium Mitra Penyelenggara (KMP). “KMP SEA Games XIX tahun 1997, tidak secara langsung berhubungan dengan Bambang Trihatmodjo,” kata Prisma.
Dia melihat posisi Bambang Trihatmodjo di PT TIM sebagai presiden komisaris dan bukan pemegang saham. Anggapannya penguatnya berdasarkan Akta Notaris Nomor 19 tanggal 2 Maret 1998 yang di buat oleh Notaris di Jakarta, P. Sutrisno, A. Tampubolon mengenai berita Acara Rapat PT TIM.
Oleh karena itu pertanggungjawaban putra Presiden Soeharto itu dianggap keliru secara hukum. “Adapun PT TIM sebagai KMP SEA Games XIX tahun 1997 di Jakarta sahamnya dimiliki oleh PT Perwira Swadayatama milik Bambang R. Soegomo dan PT Suryabina Agung milik Enggartiasto Lukita,” tutur Prisma.
Dia berpendapat penyelenggaraan SEA Games XIX saat itu berat dari sisi biaya karena Indonesia mendadak menjadi tuan rumah menggantikan Brunei Darussalam.
Hajatan olahraga se-Asia Tenggara itu awalnya diminta oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora)/Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) sekitar Rp 70 miliar, kemudian membengkak sampai Rp 156,6 miliar.