TEMPO.CO, Jakarta - Pertemuan Menteri Keuangan atau Menkeu dan Gubernur Bank Sentral dalam Presidensi G20 Indonesia telah menghasilkan 14 poin komunike yang merupakan komitmen dan pernyataan bersama.
Salah satu di antara belasan komunike itu menyoroti upaya memajukan Common Framework for Debt Treatment di luar program Debt Service Suspension Initiative (DSSI). Utamanya hal itu untuk memberi kepastian kepada 3 negara debitur yang meminta keringanan pembayaran utang.
"Seperti Chad, Ethiopia dan Zambia," seperti dikutip dari butir-butir komunike yang disiarkan dalam siaran pers, Jumat, 18 Februari 2022.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono menyatakan, sejak terjadinya pandemi, G20 telah memberikan dukungan bagi negara miskin. Dukungan itu melalui pemberian penundaan pembayaran utang luar negeri dan restrukturisasi utang luar negeri oleh negara G20 kepada negara miskin dan berkembang.
Tujuannya, untuk meningkatkan kapasitas dalam penanganan pandemi sekaligus meningkatkan kapasitas pengelolaan utang, sehingga dapat mendukung pemulihan ekonomi dalam jangka panjang.
Dalam rangka mendukung inisiatif tersebut, lembaga keuangan internasional memfasilitasi melalui penyediaan dana perwalian (trust fund) guna membantu negara miskin dan berkembang.
Forum akan terus mengupayakan capaian yang konkret dan transparan dari legacy Presidensi Indonesia dalam hal mendorong penyelesaian utang-utang negara miskin dan berkembang melalui adopsi kerangka kerja bersama (Common Framework).
Terkait pajak internasional, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara G20 turut memastikan implementasi global yang cepat dari paket pajak internasional dua pilar G20/OECD yang disepakati pada 2021.
Forum tingkat tinggi tersebut juga membahas isu global terkini yang menjadi perhatian bersama antara lain pemulihan ekonomi global yang masih berlanjut, tetapi dengan laju yang berbeda antar Negara. Selanjutnya, momentum yang melemah akibat kembali merebaknya varian baru virus Covid-19.
Perbedaan kapasitas dalam mengatasi pandemi Covid-19, termasuk melalui penyediaan vaksin di berbagai Negara menjadi faktor utama yang menyebabkan pemulihan yang tidak merata. “Faktor-faktor ini tentu akan membentuk lansekap ekonomi global ke depan,” kata Erwin.