TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kementerian Perdagangan Isy Karim menanggapi keluhan para produsen tahu dan tempe soal lonjakan harga kedelai yang masih terjadi hingga kini. Akibat meroketnya harga bahan baku itu, para produsen harus putar akal untuk bisa tetap menjual barang yang dihasilkannya tapi tak merugi.
Isy menjelaskan, hingga pekan kedua Februari 2022, harga bahan baku tempe dan tahu itu masih tinggi. Di pasar global, komoditas itu diperdagangkan di level US$ 15,78 per bushels untuk kontrak pada Mei 2022.
Lonjakan harga kedelai, kata Isy, disebabkan oleh inflasi di negara produsen yang belakangan berdampak pada meningkatnya biaya input produksi, sewa lahan hingga kekurangan tenaga kerja. Selain itu, ada masalah ketidakpastian cuaca di negara produsen turut andil mendorong petani kedelai menaikkan harga.
Data Chicago Board of Trade (CBOT) menunjukkan harga kedelai pada pekan kedua Februari 2022 mencapai US$ 15,57 per bushels. Harga tersebut diperkirakan terus naik hingga Mei yang mencapai US$ 15,78 per bushels dan baru mulai turun pada Juli sebesar US$ 15,75 per bushels.
“Harga kedelai di tingkat perajin pada bulan Februari 2022 telah mencapai Rp 11.000 per kilogram dan akan terus mengalami peningkatan pada bulan mendatang menyesuaikan perkembangan harga kedelai dunia,” kata Isy ketika dihubungi lewat pesan WhatsApp, Rabu, 16 Februari 2022.
Saat ini, mayoritas atau lebih dari 80 persen kebutuhan kedelai di dalam negeri dipasok dari impor. Walhasil, perkembangan harga kedelai di dalam negeri sangat bergantung pada perkembangan harga komoditas tersebut di pasar global.
Isy memaparkan bahwa kementeriannya telah berupaya menjaga keberlangsungan usaha pengrajin tahu dan tempe. Caranya dengan memastikan pasokan kedelai aman dan tersedia serta melakukan koordinasi secara intens bersama pelaku usaha baik importir (AKINDO) maupun perajin tahu dan tempe (Gakoptindo).