“Dari uraian Pasal 1 Ayat 8, 9 dan 10 UU No 40 Tahun 2004 di atas, tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘peserta’ adalah setiap orang yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran,” tuturnya Mirah berdasarkan pertimbangan keempat.
Mirah menjelaskan di pertimbangan kelima, komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar dua persen dari upah sebulan dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan.
Dia mengatakan dalam dana JHT dimaksud, tidak ada keikutsertaan dana dari pemerintah. Sehingga tidak ada alasan untuk pemerintah menahan dana JHT dimaksud.
Kemudian pihaknya melihat kondisi faktual saat ini yang diklaim banyak korban PHK dengan berbagai sebab dan membutuhkan JHT untuk kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja.
“Banyak juga pekerja yang di-PHK tanpa mendapatkan pesangon, antara lain karena dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Sehingga pekerja sangat berharap bisa mencarikan JHT yang menjadi haknya,” ujar Mirah dalam pertimbangan keenam.
Selanjutnya pada pertimbangan ketujuh, pihaknya menilai perubahan persyaratan klaim JHT saat usia 56 tahun sangat mencederai rasa keadilan pekerja yang ingin mencairkan setelah mengundurkan diri atau terkena PHK.
Atas pertimbangan yang disampaikan, maka Aspek Indonesia menilai tidak ada alasan dasar untuk menunda pencairan JHT sampai usia 56 tahun untuk pekerja yang terkena PHK atau mengundurkan diri.
Baca Juga: Jokowi Disebut Mirip Soeharto di Kasus Wadas, Ngabalin: Tuduhan Itu Tendensius