TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri menilai pengesahan Undang-undang Ibu Kota Negara atau UU IKN tergesa-gesa. Pasalnya, saat ini masih banyak masalah yang lebih penting dan harus diselesaikan pemerintah ketimbang pemindahan Ibu Kota Negara.
Ia mengaku secara pribadi tak anti pemindahan ibu kota. Meski begitu, ia lebih setuju bila pemerintah mempersiapkan rencana induk dengan lebih matang dan melibatkan masyarakat.
"Mungkin 10 tahun ke depan setelah tantangan besar bisa kita urai (baru membahas pindah IKN)," kata Faisal Basri dalam diskusi yang tayang di kanal Youtube PKS TV, Selasa, 18 Januari 2022.
Salah satu masalah yang lebih mendesak ditangani pemerintah, menurut dia, adalah kemiskinan. Saat ini, sekitar 52 persen penduduk Indonesia masih masuk golongan rentan miskin, nyaris miskin, dan miskin ekstrem.
Tak hanya itu, Faisal Basri mempertanyakan alasan pemerintah membuka opsi pembiayaan pembangunan Ibu Kota Negara dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal pembangunan IKN semula murni akan dibiayai oleh swasta.
"Pak Jokowi antusias itu karena ada yang bawain investor, berjanji siap sediakan dana US$ 100 miliar untuk bangun ibu kota baru," ujar Faisal.
Faisal mengaku mendapat informasi itu dari salah satu wakil menteri. "Saya dapat cerita dari wakil menteri yang mengingatkan Pak Jokowi. Hati-hati pak dengan skema yang ditawarkan investor tadi harus dilihat terms and conditions-nya, karena ini bisnis," tuturnya.
Berdasarkan cerita sang wakil menteri itu, Faisal menuturkan, ternyata investor tersebut mensyaratkan pemerintah menghadirkan 5 juta penduduk dalam 10 tahun di IKN. Dengan begitu, muncul kesempatan bisnis penyediaan perumahan, perkantoran, air bersih, pengelolaan sampah, dan transportasi yang nilainya lebih dari US$ 100 miliar.