Masalah lainnya, Indonesia belum terlalu mengadopsi teknologi untuk mendorong industri hilirisasinya. Esther menyatakan, data menunjukkan bahwa mayoritas industri di Indonesia atau 64 persen hanya mengadposi teknologi dasar.
Sedangkan industri yang sudah mengadposi teknologi skala advance hanya 6 persen. Sedangkan sisanya sekitar 30 persen mengadopsi teknologi sedang atau intermediate.
Tak hanya persoalan adopsi teknologi, riset dan pengembangan (R&D) di Indonesia ketimbang negara lain di ASEAN masih sangat rendah. Saat ini R&D Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) baru mencapai 0,08 persen, sedangkan rata-rata negara ASEAN lain sudah 0,7 persen.
Mendiang Enny Sri Hartati, dalam tulisannya yang dibacakan ekonom CORE Indonesia, Ina Primiana, menyatakan perlu berbagai cara untuk mengikis kendala investasi di Indonesia. Enny dalam bukunya berjudul “Merajut Asa Ekonomi Berkeadilan” menyatakan Indonesia nihil memperoleh realokasi investasi dari Amerika dan Cina pada saat Thailand menerima 10 realokasi dan Vietnam memperoleh 23 realokasi.
Enny berpandangan perlu ada terobosan karena upaya pemerintah mendongkrak investasi belum berjalan maksimal kendati sudah ada Omnibus Law. Omnibus Law sebelumnya digadang-gadang bisa mengurangi hambatan-hambatan investasi.
Dalam tulisannya, Enny menceritakan adanya ketidaktahuan Pemerintah Indonesia terhadap global value chain. Indonesia memiliki banyak problem kepentingan dan persoalan struktural.
Negara lain, kata Ina mengulas tulisan Enny, bisa mengambil peluang investasi. "Tapi Indonesia masih dihadapkan dengan permasalahan struktural dan tarik-menarik kepentingan."
Baca: Kenang Mendiang Ekonom Indef Enny, Bahlil Cerita Sering Didebat tapi Tidak Digas