Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapat, selain rasio utang, yang perlu diperhatikan adalah kenaikan belanja bunga utang pada pos belanja pemerintah pusat dalam 5 tahun terakhir.
Pada 2014, proporsi belanja bunga utang mencapai 11 persen terhadap total belanja pemerintah pusat dan naik jadi 19 persen pada akhir 2020. Hal tersebut dikhawatirkan dapat menekan belanja produktif pemerintah.
“Dalam kondisi tertentu tentu hal ini berpotensi menekan ruang belanja pemerintah yang lain yang sifatnya lebih produktif seperti misalnya belanja modal ataupun belanja subsidi,” tutur Yusuf ketika dihubungi.
Pemerintah selama ini bisa mengelola rata-rata jatuh tempo utang dan risiko volatilitas dari penerbitan utang valas di level yang terjaga, namun ketidakpastian dalam perekonomian masih cukup tinggi, termasuk setelah pandemi.
“Misalnya, apakah ATM (Average Time To Maturity) bisa dijaga di level akomodatif ketika burden sharing dengan BI sudah selesai?" kata Yusuf. Apalagi beberapa kali masuknya BI ke dalam tenor jangka menengah-panjang surat utang pemerintah menjaga level ATM di kisaran 8,6 tahun.
Ditambah lagi, kata dia, risiko tapering off dan kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed berpotensi mengerek imbal hasil surat utang yang diterbitkan pemerintah. “Risiko ini umumnya diartikan sebagai risiko bagi investor dan umumnya bisa berarti kenaikan imbal hasil bagi surat utang negara berkembang termasuk Indonesia,” ucap Yusuf.
BISNIS
#cucitangan #pakaimasker #jagajarak
Baca: Sekolah Tatap Muka Dimulai, Luhut: Ngeri Kalau Generasi Mendatang Tidak Berpendidikan