TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerima berbagai kritik dari dewan akibat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) 2020 yang mencapai Rp 245,6 triliun. Pemerintah dinilai tidak efisien mengelola anggaran selama tahun pandemi tersebut.
"Pemerintah memahami perhatian dewan terhadap besarnya nilai SILPA 2020, yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya," kata Sri Mulyani dalam rapat paripuna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, 7 September 2021.
Sebelumnya, berbagai kritik datang dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama Sri Mulyani pada Senin, 6 September 2021. Anggota Banggar dari fraksi PKS Sukamta yang menilai pemerintah sembrono. Di satu sisi utangnya semakin besar untuk menutupi defisit, tapi di sisi lain sisa anggarannya juga besar.
Lalu, anggota Banggar dari fraksi PAN Eko Patrio juga menyebut besarnya SILPA ini menggambarkan APBN semakin tidak efisien karena utang pemerintah tidak termanfaatkan dengan maksimal. "Padahal, bunga utangnya tetap harus dibayar," ujar Eko.
Lalu dalam rapat paripurna ini, Sri Mulyani beralasan bahwa SILPA 2020 ini tidak terlepas dari upaya pemerintah memastikan penyediaan anggaran. "Dalam kondisi ancaman yang nyata, dinamis, dan tidak pasti, akibat pandemi," kata dia.
SILPA terjadi karena pemerintah memang menyerap seluruh pembiayaan utang berbunga rendah lewat skema burden sharing bersama Bank Indonesia. Totalnya Rp 574,59 triliun dengan bunga 0 persen (untuk belanja public goods) dan minus 1 persen (non-public goods).
Tapi sampai akhir 2020, sebanyak Rp 245,6 triliun tidak terpakai. Tapi, Sri Mulyani menyebut sisa anggaran ini tetap dimanfaatkan di 2021 untuk berbagai kebutuhan.