TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna menyampaikan hasil reviu kesinambungan fiskal di antaranya soal utang kepada Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada Jumat, 25 Juni 2021. Hasil reviu tersebut adalah bagian dari Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2021.
Salah satu hal yang menjadi sorotan BPK dari reviu tersebut adalah tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara. Agung mengatakan hal tersebut memunculkan kekhawatiran terhadap kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang.
"Selanjutnya, utang pemerintah belum memperhitungkan unsur kewajiban pemerintah yang timbul seperti pensiun jangka panjang, kewajiban dari putusan hukum yang inkracht, kewajiban kontinjensi dari BUMN, dan risiko kerja sama pemerintah dan badan usaha atau KPBU dalam pembangunan infrastruktur," ujar Agung dalam siaran langsung di akun Youtube Sekretariat Kabinet, Jumat, 25 Juni 2021.
Di sisi lain, kata Agung, pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang, dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal maupun risiko defisit.
Meskipun utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, ia menuturkan trennya menunjukkan peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah. "Khususnya karena mulai 2023 besaran rasio defisit terhadap PDB dibatasi paling tinggi 3 persen," kata dia.
Apalagi, Agung menyebutkan indikator kerentanan utang tahun 2020 juga melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan atau International Debt Relief (IDR). Rinciannya, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.