TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Faisal Basri mengatakan semakin tinggi tingkat korupsi, rezim perpajakan semakin regresif. Rezim pajak yang regresif itu belakangan terlihat dari rencana pemerintah belakangan ini.
"Itu seperti yang ditunjukkan pemerintah belakangan ini yang berinisiatif mengenakan pajak sembako, persalinan, dan pendidikan. Makin regresif, pukul rata sama. Betul-betul ini sudah berwujud grand corruption," ujar Faisal dalam webinar, Sabtu, 19 Juni 2021.
Faisal mengatakan naiknya pajak yang dikenakan kepada masyarakat adalah imbas investasi yang tidak berkualitas. Padahal persentase investasi terhadap PDB di Indonesia sangat besar dibanding beberapa negara berpendapatan menengah bawah dan atas.
"Tapi tidak berkualitas. Investasinya tiga per empat berupa bangunan karena ini paling mudah dikorupsi selain sumber daya alam. Hanya sepuluh persen berupa mesin. Alhasil belanja kita makin banyak dibiayai utang," tutur Faisal.
Kalau utang semakin sulit diperoleh, kata dia, jalan pintasnya adalah dengan menaikkan pajak yang semakin membebani rakyat. Apalagi, mayoritas masyarakat Indonesia hidup pas-pasan.
"Sementara orang-orang kaya si oligarki diberi keringanan pajak terus menerus. Dari Omnibus Law, pajaknya (PPh Badan) dipangkas dari 25 persen menjadi 22 persen tahun lalu dan tahun depan 20 persen saja. Kalau go public 17 persen, sama dengan Singapura," kata Faisal.
Di sisi lain Faisal mengatakan rakyat menerima beban tambahan dari pajak itu 52,8 persen masuk kategori rawan atau insecure. Mereka tercatat memiliki pengeluaran per kapita hanya Rp 25 ribu atau Rp 100 ribu untuk keluarga dengan dua anak.
"Apa yang bisa didapat dari Rp 25 ribu dari satu rumah tangga, misal 2 anak jadi Rp 100 ribu sehari. Itu pasti insecure. Tidak miskin tapi insecure," ujar dia.
Baca Juga: Faisal Basri Sebut Investasi di RI Naik tapi Hasilnya Sedikit Karena Ember Bocor