Menurut Prastowo, pemerintah ingin mendesain agar RUU yang mengatur perpajakan lebih komprehensif. Lewat skema penerapan PPN yang bersifat multitarif, kebijakan tersebut memungkinkan barang-barang kebutuhan yang dikonsumsi kelompok atas dikenakan pajak lebih besar, misalnya 15-20 persen.
Namun realisasinya tidak akan dilakukan bila masa krisis pandemi Covid-19 masih terus berlangsung. “Kelak ketika ekonomi membaik, daya beli meningkat, lalu akan dikenai (PPN), ruangnya sudah ada. Jadi tidak perlu dibuat undang-udang lagi,” ujarnya.
Prastowo menampik bila pemerintah mengusulkan revisi klausul pajak sembako ini untuk menutup defisit APBN. Ia memastikan saat ini anggaran pemerintah masih cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ia pun menyebut spekulasi yang beredar di masyarakat tentang pengenaan PPN sembako miskomunikasi. Musababnya, draf RUU KUP kadung bocor dan poin-poin di dalamnya beredar sepotong-sepotong.
Lebih lanjut, Prastowo mengungkapkan pemerintah tidak ada niat untuk membebani rakyat, misalnya dengan memungut PPN Sembako. “Kami harus akui fakta bahwa kita harus punya anitisipasi ke depannya. APBN ini harus jadi instrumen, termasuk pajak kita siapkan ke depannya,” ujar Prastowo.
Baca: Tolak PPN Pendidikan, PBNU: Apa yang Ada di Mindset Pengambil Kebijakan Itu?