TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra belum menghitung jumlah potensi penurunan pendapatan yang ditimbulkan akibat kebijakan pemerintah melarang mudik, 6-17 Mei 2021. Irfan mengatakan maskapainya akan memaksimalkan potensi penerbangan kargo dan mengurangi frekuensi penerbangan.
“Sedang kami pelajari dan hitung-hitung,” tutur Irfan saat dihubungi pada Jumat, 9 April 2021.
Tahun lalu, Garuda Indonesia membukukan laporan keuangan merah setelah mudik 2020 ditiadakan. Berdasarkan laporan perusahaan, maskapai yang saham mayoritasnya digenggam negara itu mengalami kerugian sebesar US$ 712,73 juta atau setara dengan Rp 10,19 triliun.
Penurunan pendapatan didorong oleh melorotnya okupansi penumpang selama kuartal II tahun itu. Pada periode Mei 2020, okupansi penumpang emiten berkode GIAA itu tinggal 10 persen. Sedangkan pergerakan penumpang hingga akhir Juli baru meningkat 2-3 persen.
Selain karena larangan mudik, penurunan penumpang terjadi karena penutupan pintu gerbang internasional, penutupan umrah, dan penutupan perjalan haji.
Adapun per 30 Juni 2020, manajemen Garuda Indonesia menyampaikan total pendapatan usaha perseroan sebesar US$ 917,28 juta. Nilai itu anjlok 58,18 persen year on year dari sebelumnya yang mencapai US$ 2,19 miliar. Kurs Jisdor pada 30 Juni 2020 dipatok di level Rp 14.302 per dolar Amerika Serikat. Artinya, Garuda Indonesia membukukan pendapatan Rp 13,12 triliun.