TEMPO.CO, Jakarta – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk akan menghentikan pengoperasian 12 pesawat Bombardier CRJ 1000. Rute-rute yang diterbangi dengan pesawat pabrikan Montreal, Kanada, tersebut akan diganti dengan armada Boeing 737-800 milik perseroan.
“Kami putuskan untuk rute yang selama ini dilayani 12 Bombardier diganti dengan Boeing 737-800 yang kami miliki,” ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Rabu, 10 Februari 2021.
Baca Juga: Sriwijaya Air Janji Tetap Santuni Keluarga Korban SJ 182 Meski Boeing Digugat
Irfan menjelaskan perusahaannya akan memaksimalkan pesawat-pesawat Boeing milik perseroan yang belum beroperasi secara penuh selama masa pandemi Covid-19. Garuda Indonesia pun dalam waktu dekat tidak akan menambah jumlah pesawat agar beban keuangan perusahaan tak kian menumpuk.
Pada awal masa pandemi Covid-19, seluruh pesawat Bombardier sempat dikandangkan karena Garuda Indonesia banyak mengurangi frekuensinya. Namun menjelang akhir tahun, saat permintaan penumpang mulai meningkat, perusahaan kembali mengoperasikan beberapa pesawat tersebut. Saat ini rute aktif yang masih diterbangi oleh Bombardier adalah relasi Makassar-Manokwari-Sorong dan Tarakan-Makassar.
Garuda Indonesia menyetop operasi 12 pesawat Bombardier sejak 1 Februari 2021 sejalan dengan evaluasi kontrak sewa terhadap lessor Nordic Aviation Capital (NAC). Belasan pesawat tersebut dalam status dikandangkan di Hanggar GMF Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Emiten berkode GIAA ini sedang memproses percepatan penyelesaian kontrak leasing dengan NAC, namun belum menemui kesepakatan. Berdasarkan kontraknya, penggunaan CRJ 100 baru berakhir pada 2027 . Rencana penghentian kontrak CRJ 1000 dilakukan karena selama tujuh tahun masa operasi, Garuda menanggung rugi hingga US$ 30 juta per tahun.
Kerugian berasal dari penggunaan pesawat yang tidak efektif lantaran tipikal armada tak sesuai dengan kriteria penumpang Indonesia. Bombardier memiliki kapasitas kursi berjumlah 96 seat dengan luas bagasi yang terbatas.
Selain itu, kasus hukum yang membelit Bombardier terkait suap pengadaan pesawat Garuda Indonesia pada 2011 memperkuat keputusan manajemen untuk menyudahi kontrak sewa. “Itu alasan untuk meyakinkan NAC bahwa keputusan kami bukan emosional, tetapi keputusan komersial dan punya landasan legal,” kata Irfan.
Bila pemutusan kontrak ini disetujui, Irfan mengatakan Garuda Indonesia bisa menghemat anggaran hingga US$ 220 juta. Penghematan ini dihitung sampai masa kontrak Bombardier berakhir.