Adapun R&D dianggap bisa mempengaruhi tuntutan kepada Sriwijaya Air dan produsen pesawat, yakni Boeing, ketika nanti ditemukan ada kesalahan teknis pada mesin yang menyebabkan kecelakaan. R&D biasanya harus ditandatangani sebelum keluarga korban menerima santunan sebesar Rp 1,25 miliar dari maskapai.
Michael Indrajana mengatakan praktik pembebasan tuntuan bila R&D ditandatangani tidak dapat diterima. “Kami mengingatkan semua penasihat lokal kami untuk melindungi keluarga dari upaya ini, sementara kami menunggu kabar lebih lanjut tentang perkembangan penyelidikan,” tuturnya.
Litigator yang memiliki pengalaman kerja di litigasi Boeing, Susanti Agustina, mengatakan saat ini adalah waktu rentan bagi keluarga korban. Keluarga membutuhkan perlindungan dari sisi hukum.
“Misi saya adalah untuk memastikan keluarga yang menandatangani pembebasan dilindungi dan keluarga yang belum menandatangani (R&D) mendapatkan perlindungan hukum dan masukan yang mereka butuhkan sebelum membuat keputusan,” ujarnya.
Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak yang membawa 50 penumpang dan 12 awak pesawat jatuh di Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021. Pesawat mengalami kecelakaan empat menit setelah lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Dalam operasi SAR, tim gabungan menemukan 325 kantong potongan tubuh korban, 68 kantong serpihan kecil pesawat Sriwijaya Air, dan 55 bagian badan pesawat. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) masih menginvestigasi faktor penyebab pesawat jatuh.
Sejak awal jatuhnya Sriwijaya Air SJ-182, Tempo telah mencoba meminta penjelasan lebih detail ke Boeing soal kejadian ini. Tapi, Boeing hanya mengatakan bahwa mereka sedang berkomunikasi dengan maskapai pelanggan mereka. "Bersiap untuk mendukung mereka dalam masa sulit ini," demikian pernyataan resmi Boeing di laman resmi mereka pada Sabtu, 9 Januari 2021.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca juga: Menhub: Sriwijaya Air Sudah Beri Kompensasi Rp 1,25 M ke Keluarga Korban SJ 182