Dari berbagai fakta tersebut, KPPU kata Taufik, menganalisis bahwa tingginya harga bawang putih pada Maret-Mei 2019 disebabkan oleh minimnya pasokan di pasar. Salah satu alasannya diakibatkan oleh kebijakan wajib tanam sebesar 5 persen dari jumlah kuota impor yang dibebankan kepada impotir menyebabkan terhambatnya penerbitan RPIH.
Pasalnya, proses klarifikasi terjadi sepanjang awal tahun (Januari-Maret). “Penerbitan RPIH dapat dilakukan setelah proses verifikasi selesai dilakukan,” ucap Taufik.
Keterlambatan, lanjutnya, juga terjadi di Kementerian Perdagangan lantaran SPI baru terbit pada April 2019. Kondisi ini menyebabkan importir yang sudah memiliki SPI per Oktober 2018 dan sudah merealisasikan impor berdasarkan kuota yang dimiliki, dapat menguasai pasokan pasar domestik.
KPPU menilai pola penerbitan SPI yang dilakukan oleh pemerintah dapat diprediksi oleh pelaku pasar sehingga peluang untuk eksploitasi pasar melalui penguasaan pasokan relatif besar. Atas temuan tersebut, tuturnya, KPPU menyatakan ada beberapa saran yang akan disampaikan ke pemerintah untuk melakukan penyederhanaan prosedur impor bawang putih untuk pemenuhan kebutuhan domestik.
Penerbitan izin impor seyogyanya didasarkan pada permintaan yang telah memenuhi prasyarat dan dilakukan sesuai dengan waktu realisasi impor yang sudah ditentukan oleh pemerintah. “Jadi penerbitan izin itu dilakukan secara random sepanjang tahun. Tidak harus menunggu di awal menjelang pertengahan tahun,” kata Taufik.
Selain itu pihaknya juga mengusulkan agar pungutan tarif yang dikenakan terhadap impor bawang putih dapat digunakan untuk mendukung program swasembada bawang putih yang ditargetkan terjadi pada 2021. “Perlu juga melakukan pengawasan dan pencatatan realisasi impor sampai ke distribusi di tingkat pengecer menjadi tugas dan tanggung jawba instansi terkait."
BISNIS
Baca: Ahok Usul Sebagian Minyak Mentah Diekspor, Apa Sebabnya?