KEPAL menilai salah satu alasan kenapa Pemerintah dan DPR-RI sangat tergesa-gesa mengesahkan UU CIPTA KERJA karena dilatari oleh desakan dari World Trade Organization (WTO). Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya surat dari Pemerintah Indonesia yang dicatat di WTO dengan nomor WT/DS477/21/Add.13, WT/DS478/21/Add.13 pada 18 Februari 2020.
Surat itu menjabarkan bahwa akan ada perubahan terhadap empat Undang-Undang Nasional melalui UU Cipta Kerja agar sesuai dengan ketentuan WTO.
Keempat Undang-Undang itu yakni UU Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura, UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, UU Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan hewan.
“Bagi KEPAL, UU Cipta Kerja tidak cukup memiliki landasan hukum yang kuat karena tidak memenuhi syarat-syarat tahapan berdasarkan pembentukan peraturan perundangan-undangan, atau disebut inskonstitusional," ujar Agus Ruli.
Agus mengatakan praktik buruk proses legislasi UU ini tidak berhenti pada saat disahkan oleh DPR RI saja, namun setelah diundangkan juga masih mengandung kesalahan perumusan yang berdampak pada substansi pasal yang dikandungnya.
“Keadaan cacat formil yang melekat pada UU Cipta Kerja tersebut tak pelak dapat melahirkan rantai ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraannya”, tutur Agus Ruli.