TEMPO.CO, Jakarta - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) berpotensi meningkatkan ekspor ke Turki. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa berujar pasar Turki menjadi salah satu tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia, misalnya saja produsen benang pintal (spun yarn) Indonesia. "Dan ini akan terus menjadi pasar penting untuk pasar produsen spun yarn Indonesia," ujar Jemmy, Selasa 27 Oktober 2020.
Meski begitu, Jemmy mengatakan produsen dalam negeri masih kesulitan masuk pasar Turki lantaran banyaknya hambatan perdagangan yang diterapkan, baik itu lewat atau pun non tarif. Pada 2008, Pemerintah Turki mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk impor semua bentuk synthetic yarns (spun yarn) dengan besaran US$ 0,23-US$0,40 per kilogram. Kebijakan itu telah diperpanjang kembali pada 2015 hingga 2020.
Adapaun tarif umum atau most favoured nations (MFN) tertinggi Turki saat ini adalah 12 persen berlaku untuk golongan barang pakaian dan aksesori pakaian, rajutan, atau kaitan dengan kode harmonized system (HS) 61; serta pakaian dan aksesori pakaian, bukan rajutan atau kaitan dengan kode HS 62. Adapun tarif terendah tarif terendah diterapkan untuk sutera atau HS 50 dan wol bulu hewan halus atau kasur, benang bulu kuda dan kain tenunan (HS 62), yaitu sebesar nol persen.
"Strategi yang dapat dilakukan Indonesia dalam hadapi IT-CEPA (Perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Turki ), menyamakan level playing field Indonesia melalui perbaikan aturan dan iklim industri dalam negeri untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia," ujar Jemmy.