Menurut dia, potensi pasar Turki bagi Indonesia masih terbuka. Hal ini terlihat dari pertumbuhan produk serat buatan dan benang yang mampu sekitar 3,55 persen selama lima tahun terakhir meskipun telah diberlakukan anti-dumping dan safeguard. Hal ini terjadi karena adanya faktor, misalnya produsen fiber dan spinners Indonesia jadi pemasok terpercaya.
"Selain itu, produk Indonesia memiliki kualitas benang yang konsisten yang mana produksi dalam negeri Turki tidak mampu memenuhi permintaan dari industri mereka," kata dia.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Marthin Kalit berujar Turki merupakan salah satu negara pengguna aktif trade remedies, dan masuk dalam sepuluh besar negara dengan jumlah penyelidikan terbanyak. Setidaknya ada 199 kasus dikenakan BMAD, 17 kasus dikenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), dan satu kasus dengan anti subsidi.
Pemerintah Turki juga piawai memanfaatkan kebijakan hambatan non tarif (non tariff measures atau NTM) untuk menghalau produk impor, termasuk tekstil. Sektor tekstl paling terdampak akibat instrumen ini karena sejumlah 792 post tarif telah dikenakan NTM, seperti persyaratanserfikasi, persyaratan melewati pelabuhan tertentu, pajak konsumsi, perizinan ekspor, dan lainnya. "Turki merupakan sepuluh besar negara di dunia yang paling sering NTM, yaitu 60,74 persen dari total impor," ujar Marthin.
Meski begitu, Marthin mengatakan pemerintah tengah meningkatkan ekspor produk tekstil ke Turki karena negara tersebut jadi mitra penting bagi industri tekstil dalam negeri untuk bisa masuk rantai pasok global.Untuk mendorong langkah itu, Marthin mengatakan pemerintah telah melakukan sejumlah pendekatan, salah satunya IT-CEPA.
"Pemerintah akan melakukan fokus pembinaan di sisi penawaran dengan menciptakan diferiensi produk testil berdaya saing dan memperkat market intelligence agar tidak langsung bersaing head to head dengan yang diproduksi Turki," ujar Marthin.
Baca: Pastikan Standar Mutu, Kemenperin Bikin SNI untuk Masker Kain
LARISSA HUDA