Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan pelaku industri maupun pemerintah harus mampu mengatasi tren pengamanan perdagangan (trade remedis) yang akan terus dijalankan oleh pemerintah Turki. Menurut Redma, tak sedikit trade remedies yang diterapkan sebetulnya mengarah pada produk Cina yang membanjiri Turki. Namun, hal ini turut berdampak pada produk yang sama dari Indonesia.
"Menurut kami, tugas bersama yaitu supaya kita tak terbawa. Pasar Turki tak boleh lepas, apalagi terkena hambatan berupa BMAD karena bisa menurunkan daya saing yang lebih pesat," ujar Redma.
Direktur Sritex Group Abhay Agarwal berharap pemerintah bisa mempercepat penyelesaian perjanjian dagang dengan Turki dan harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan kelancaran ekspor tekstil ke sana. Menurut dia pasar Turki berpotensi karena industri tekstil menjadi kontributor utama ekonomi dan menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) yang cukup besar.
Selain itu, negara tersebut juga menjadi tetangga sebelah negara-negara Eropa dan Rusia. Selain itu, Turki dapat menghemat biaya pengangkutan laut dan hemat waktu transit dengan peniriman cepat. "Semua faktor itu menambah daya saing Turki. Dengan demikian Turki menjadi pusat maufaktur tekstil terbesar yang menjadi gerbang untuk menembus pasar Eropa," ujar Abhay.