TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar akhirnya menjawab kekhawatiran beberapa kalangan bahwa kewajiban 30 persen kawasan hutan hilang dalam Omnibus Law. Siti menyebut anggapan ini sangat tidak tepat.
Sebab, kata dia, catatan ini sudah dimasukkan ke dalam kewajiban pertimbangan bigeofisik dan sosiologi masyarakat. Ini sebagai pertimbangan untuk penggunaan dan pemanfaatan, selain pertimbangan daya dukung daya tampung.
"Justru dalam Omnibus Law, ini bisa lebih ketat daripada hanya angka 30 persen," kata Siti memberi penjelasan lewat akun Twitter-nya @SitiNurbayaLHK pada Sabtu, 10 Oktober 2020.
Artinya, kata Siti, implikasi kewajiban memiliki dan menjaga kawasan hutan, akan lebih ketat dalam aspek sustainability dan penerapan tools untuk itu. Contohnya seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Hal ini, kata Siti, termasuk tools analisis pengaruh terhadap rantai kehidupan seperti rantai pangan (food chain), rantai energi, siklus hidrologi, rantai karbon, dan yang lainnya. "Atau disebut LCA (Life Cycle Asessment) yang sudah diawali oleh Kementerian LHK," ujarnya.
Meski demikian, pada faktanya klausul dan angka 30 persen ini tetap dihapus di Omnibus Law. Ini adalah maklumat yang sudah ditetapkan langsung oleh mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie setelah reformasi, dalam Pasal 18 ayat 2 UU Kehutanan. Beleid ini berbunyi:
"Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional."