TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan impor bahan baku atau penolong sebesar 2,50 persen secara bulanan pada Juli lalu. Secara tahunan, penurunan terjadi lebih dalam yaitu sebesar 34,46 persen dibandingkan tahun lalu. Beberapa produk impor yang mengalami penurunan di antaranya kelompok serealia sebesar US$ 77 juta; susu, mentega, telur sebesar US$ 91 juta; sayuran US$ 102,1 juta; dan gula dan kembang gula sebesar US$ 120,7 juta.
"Saya melihat sebetulnya produksi meningkat. Kemungkinan penurunan impor terjadi karena ada sisa stok pada April-Mei lalu karena penjualan yang rendah," ujar Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman kepada Tempo, seperti dilansir Koran Tempo edisi Senin 24 Agustus 2020.
Adhi menjelaskan sebagian besar produsen biasanya sudah menyiapkan pasokan untuk menghadapi lonjakan permintaan dalam menghadapi periode Ramadan-Lebaran. Namun, ujar Adhi, yang terjadi justru anomali karena tidak ada kenaikan permintaan pada periode tersebut. Meski begitu, Adhi mengatakan produksi industri makanan dan minuman mulai membaik mulai Juni bersamaan dengan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Kemudian, Adhi mengatakan ekspor industri makanan minuman juga tumbuh tipis selama periode Januari-Juni lalu dibandingkan tahun lalu. Adhi mencatat ekspor pangan olahan sebesar US$ 3,4 miliar periode Januari-Juni 2019. Angka ini naik tipis menjadi US$ 3,6 miliar pada periode sama. "Saya memperkirakan impor bahan baku akan meningkat lagi bulan ini (Agustus) untuk pasar domestik dan ekspor," kata dia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno juga mengatakan penurunan importasi bahan baku terjadi karena pasokan yang diimpor pada triwulan I belum habis. Benny berujar hal ini terjadi karena aktivitas pada triwulan II banyak menurun karena PSBB.
Baca Juga: