TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dinilai harus berhati-hati dalam mengantisipasi risiko kebijakan memperlebar defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau RAPBN tahun 2021. Pasalnya hal itu akan berkonsekuensi dengan nilai utang yang akan diambil untuk menutupi kekurangan pembiayaan dan yang pada akhirnya akan membebani di masa mendatang.
Pernyataan itu di antaranya dilontarkan oleh anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam. Ia meminta angka defisit yang dipatok tersebut tetap dijaga dengan sangat hati-hati.
"Angkanya sudah diusulkan oleh Pemerintah dan dibahas bersama DPR. Jangan tiba-tiba sepihak dilakukan perubahan di luar rentang yang sudah disepakati," kata Ecky Awal Mucharam dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, 31 Juli 2020.
Politikus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengingatkan bahwa pelebaran defisit terkait dengan utang yang akan menjadi beban generasi ke depan. Oleh karena itu, defisit dari anggaran negara harus tetap hati-hati dan mempertimbangkan aspek kebermanfaatan, efisiensi dan efektivitasnya.
Dalam rapat paripurna DPR terakhir, Pemerintah dan DPR telah menyepakati kerangka asumsi makro untuk RAPBN 2021. Defisit anggaran disepakati 3,21-4,17 persen terhadap PDB dan rasio utang di kisaran 37,64-38,5 persen terhadap PDB.
"Ini sudah dibahas cukup mendalam dan mempertimbangkan kebutuhan untuk pemulihan ekonomi yang memadai. Sehingga secara umum seharusnya sudah memadai dan jangan sepihak diubah," kata Ecky. Ia juga mengingatkan utang yang besar akan membebani APBN dalam jangka panjang karena beban bunganya akan sangat berat.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal sebelumnya menyebutkan pelebaran defisit di 2021 akan menimbulkan beberapa risiko. Pelebaran defisit akan diikuti oleh peningkatan utang luar negeri pemerintah.
Hal ini dinilai akan meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia. Meskipun rasio utang terhadap PDB aman, di sisi lain pertumbuhan penerimaan negara melemah bahkan terkontraksi, artinya kemampuan Indonesia untuk mengembalikan utang melemah.