Dalam rapat terbatas percepatan proyek strategis, Selasa lalu, Presiden Joko Widodo meminta pengeluaran negara untuk Trans Sumatera dihitung lebih cermat. Dia meminta proyek tak melulu disokong melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, karena pengeluaran pemerintah masih diprioritaskan untuk kebutuhan penanganan pandemi Covid-19.
Adapun Kebutuhan investasi untuk penyelesaian 24 ruas proyek tersebut diperkirakan menyundul Rp 500 triliun. “Saya minta ada terobosan sumber pembiayaan alternatif untuk mengurangi ekuitas dari PMN,” ucapnya.
Direktur Utama Hutama Karya, Budi Harto, mengatakan entitasnya sedang menggenjot konstruksi ruas Trans Sumatera sepanjang hampir 780 kilometer hingga 2022. Panjang itu di luar 336 kilometer yang sudah beroperasi saat ini, dan tidak termasuk ruas yang kontraknya masih dipersiapkan.
“Kami masih butuh equity Rp 51 triliun untuk menyelesaikan yang sedang dibangun ini,” ucapnya kepada Tempo. “Soal sumber dana non PMN masih terus kami diskusikan.”
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Endra Saleh Atmawidjaja, mengatakan lembaganya juga sedang menghitung proyeksi panjang yang bisa dicapai dengan kemampuan kas pemerintah di masa pandemi ini. “Setidaknya kita siapkan finansial untuk kejar koridor backbone Trans Sumatera, yaitu sekitar 1.974 Km dari total 2.800 Km itu,” ucapnya.
Menurut Endra, pengerjaan sejumlah ruas pun bisa tertolong dengan kontribusi VGF dari perusahaan pelat merah lain, seperti PT Jasa Marga (persero) Tbk. “Saat mereka dapat izin bangun beberapa ruas, seperti Semarang-Batang atau tol layang Cikampek, ada perjanjian kontribusi juga untuk beberapa ruas Trans Sumatera.”
Adapun Kepala Riset Praus Capital, Alfred Nainggolan, mengatakan Hutama akan mulai terbebani ketergantungan pada pemerintah. “Karena besarnya risiko penugasan, proyek mereka sulit mendapat pendanaan dengan mekanisme pasar, seperti pinjaman dari asing atau swasta lain.”
EGI ADYATAMA | YOHANES PASKALIS