TEMPO.CO, Jakarta - Untuk kesekian kalinya, kembali tersiar kabar bahwa Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia tewas saat bekerja kapal ikan Cina. Kali ini korbannya adalah Yadi, seorang pria asal Lampung.
“Walaupun sudah banyak korban, perlakuan yang diterima oleh ABK Indonesia di kapal Cina tidak berubah” kata manajer lapangan SAFE Seas Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Laode Hardiani dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu, 8 Juli 2020.
Yadi adalah korban meninggal kedelapan dalam catatan DFW Indonesia. Sebelumnya pada delapan bulan terakhir, November 2019 sampai Juni 2020, DFW mencatat sudah ada 31 ABK yang menjadi korban di kapal ikan Cina. Sebanyak 21 ABK selamat, 7 meninggal dunia, dan 3 hilang.
Kasus tewasnya Yadi diketahui setelah adanya laporan masuk ke DFW. Yadi bekerja di kapal ikan asing berbendera Cina LU QIAN YUAN YU 117. Ia kemudian dipindahkan ke kapal LU HUANG YUAN YU 118 bersamaan dengan proses transfer cumi hasil tangkapan.
Menurut pengaduan yang disampaikan ke DFW, korban meninggal akibat sakit. Lantaran selama di kapal sering mendapat perlakukan tidak manusiawi dari kapten kapal. Korban mengalami kekerasan fisik, makanan tidak terjamin dan ABK yang sakit tetap dipaksa bekerja.
Hingga akhirnya, Yadi meninggal setelah tendangan dari kapten kapal mengenai dadanya. Ia meninggal pada saat kapal melakukan operasi penangkapan cumi di perairan Argentina sekitar 2 minggu lalu.
Sementara itu, Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Sufuhan mengatakan Yadi bukan satu-satunya ABK di kapal ini. Total asa 12 orang ABK Indonesia yang direkrut oleh tiga agen pemberangkatan yang berbeda.
Ketiga agen ini yaitu PT MTB, PT DMI dan PT MJM. Adapun korban meninggal atas nama Yadi direkrut dan dikirim oleh PT MTB di Tegal. Sejauh ini, kata Abdi, agen ini tidak memiliki izin operasional yaitu Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dari Kementerian Perhubungan dan Surat Izin Perusahan Penempatan Pekerja Migran (SP3MI) dari Kementerian Tenaga Kerja.