Dari angka itu, sebesar Rp 48 miliar telah dibayarkan sedari 2014 dari hasil penjualan aset-aset anak usaha Merpati. Artinya, berdasarkan nilai perhitungan aktuaria, Merpati masih memiliki kewajiban pembayaran hak solvabilitas sebesar Rp 48,4 miliar.
Ridwan telah lima kali bersurat kepada manajeman Merpati dan Tim Likuidasi Dana Pensiun Merpati—tim yang ditunjuk menjadi pihak yang menyelesaikan sisa harta maupun utang setelah perusahaan atau badan usaha. Surat ini dilayangkan sejak 2018, seusai pemegang hak tidak lagi menerima pencairan solvabilitas dari pemangku kewajiban. Namun kata dia, manajemen tak jua memberikan respons dan penjelasannya.
Terakhir, Ridwan yang juga merupakan Ketua Umum Perhimpunan Purnabakti Merpati Airlines menyorongkan surat bernomor 28/PURNA MNA/VI/2020 kepada Direktur Utama Merpati Asep Ekanugraha pada 17 Juni 2020. Isi surat itu masih sama dengan surat-surat sebelumnya, yakni meminta kejelasan penyelesaian pembayaran hak solvabilitas.
Namun, saat dikonfirmasi terkait persoalan itu, Bos Merpati saat ini, Asep, tidak menjawab pesan Tempo hingga Rabu, 1 Juli 2020. Telepon yang ditujukan kepada dia pun belum kunjung direspons.
Ditemui di lokasi yang sama, mantan Corporate Secretary & Legal Merpati, Imam Turidy, mengatakan para pensiunan juga mempertanyakan proses penjualan aset Yayasan Dana Pensiun yang belum kunjung laku. Sebab bila aset berhasil dijual, tak ayal Tim Likuidasi akan dapat segera merampungkan kewajiban pencairan seluruh nilai solvabilitas kepada pemegang saham kolektif.
Adapun aset yang dimaksud adalah PT Prathita Titiannusantara, yakni perusahaan yang bergerak di sektor groundhandling pesawat, dan PT Mega Kargo. “Ini aset primadona, tapi kenapa tidak pernah laku sejak 5,5 tahun yang lalu,” tuturnya.