TEMPO.CO, Jakarta – Dering notifikasi telepon seluler milik Ridwan Fatarudin hampir tak henti berbunyi dalam beberapa bulan terakhir. Ponsel Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines periode 1992-1995 itu menampung hampir 200 pesan pendek saban hari. Ratusan pesan itu datang dari pensiunan perusahaan yang mengeluhkan ketidakjelasan pembayaran hak solvabilitas setelah Merpati bangkrut.
“Apalagi masa pandemi, situasinya makin sulit, mereka bingung. Para mantan karyawan ini kondisinya berbeda-beda. Misalnya, ada janda yang tidak punya income sama sekali,” ujar Ridwan sembari berkerut saat ditemui Tempo di rumahnya, Utan Kayu, Jakarta Timur, Sabtu petang, 27 Juni lalu.
Pesan-pesan yang mendarat di layar telepon pria berusia kepala delapan itu membuat dia pusing lantaran seluruhnya berisi keluhan. Tak sedikit juga yang bertanya: “Kapan kira-kira hak pensiunan cair?”.
Ridwan berkisah, para pensiunan maskapai ini sekarang seret menerima pembayaran hak solvabilitas dari Tim Likuidasi Dana Pensiun Merpati. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, pencairan uang tersebut macet.
Sejak Merpati bangkrut pada 2014 dan memutuskan setop operasi, yayasan Merpati yang membidangi dana pensiunan memang ikut gulung tikar. Alasan pembubaran Yayasan Dana Pensiun ini adalah ketidakmampuan manajemen dalam membayarkan iuran. Musababnya, dana pensiun dihimpun dari iuran perusahaan sebesar dua per tiga persen dan iuran karyawan yang dipotong dari gaji sebesar sepertiga persen. Kala itu, perusahaan bahkan telah memiliki utang kewajiban iuran kepada Yayasan sebesar Rp 14 miliar.
Dengan kondisi tersebut, seluruh hak pensiun yang seharusnya diterima oleh purnabakti dan karyawan yang terkena kebijakan PHK, yang jumlahnya mencapai 1.748 orang, pun dialihkan menjadi hak solvabilitas. Berdasarkan hitungan aktuaria, total nilai solvabilitas milik pemegang hak dana ini mencapai Rp 96,4 miliar.