TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah berujar potensi kenaikan NPL (non performing loan, kredit macet) akibat memburuknya perekonomian akibat wabah Covid-19 sulit dihindari. “Restrukturisasi kredit hanya bisa menahan laju pemburukan tersebut agar tidak meningkat terlalu tajam sehingga membahayakan perbankan,” ucapnya.
Meski demikian, kebijakan restrukturisasi menurut Piter tetap harus diprioritaskan sedari awal wabah meluas, dan penting untuk memastikan pelaksanaannya berjalan efektif. “OJK memang harus bergerak cepat dan segera mendorong restrukturisasi, kalau tidak NPL bisa jadi sudah meningkat mendekati 5 persen.”
Berdasarkan data OJK, hingga 26 Mei 2020 ada 96 bank yang menjalankan kebijakan restrukturisasi, dimana total debitur yang direstrukturisasi mencapai 5,3 juta debitur dengan nilai Rp 517,2 triliun.
Sejumlah perbankan mulai mengantisipasi terjadinya lonjakan kredit macet atau non performing loan (NPL) pasca pandemi Covid-19. Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja mengatakan terdapat kekhawatiran debitur yang kreditnya direstrukturisasi tak mampu bangkit kembali memulihkan bisnisnya, sehingga gagal memenuhi kewajibannya ketika periode relaksasi berakhir pada Maret 2021.
“Kami terpaksa mendalami satu per satu keadaan nasabah apakah mereka masalahnya hanya likuiditas saja, atau ada masalah yang lebih serius misalnya terkait dengan profitabilitas dan ketahanan usaha sehingga bisa bersifat permanen,” ujarnya, kemarin.
Jahja mengatakan kondisi tersebut merupakan konsekuensi dari kebijakan restrukturisasi yang dilakukan saat ini. Seperti diketahui, penilaian kredit nasabah yang direstrukturisasi hanya didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga, atau disebut kolektabilitas satu pilar. “Ini bahayanya restrukturisasi, karena mengkamuflase semua yang tidak bisa bayar itu menjadi tetap lancar,” katanya.
Menurut Jahja, jika tak segera diantisipasi maka bank berpotensi kesulitan di kemudian hari, sehingga BCA memilih untuk tetap memupuk pencadangan walau saat ini kredit macet tersebut belum terealisasi. “Walau sekarang tidak muncul sebagai NPL, kami tetap lihat risikonya ke depan kalau berkepanjangan kami tidak berani tidak mencadangkan sama sekali,” ujar dia. Hingga Maret 2020, tingkat NPL BCA tercatat rencah sebesar 1,6 persen, namun porsi pencadangan tetap diperbesar hingga 121,9 persen.
Antisipasi serupa dilakukan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang hingga 7 Juni 2020 telah menyetujui restrukturisasi untuk 440 ribu debitur dengan baki debet senilai Rp 99 triliun. “Kami sedang melakukan asesmen untuk debitur kami baik yang kredit korporasi sampai kartu kredit, siapa-siapa saja yang setelah Covid selesai dan direstrukturisasi bisnisnya tidak bisa kembali bangkit atau tetap tidak mampu bayar kewajibannya,” ucap Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri, Ahmad Siddik Badruddin.
Beban pencadangan yang disiapkan perseroan pun melonjak signifikan dari 144,25 persen pada Desember 2019 menjadi 256,65 persen pada akhir Maret lalu. “Kami mulai siapkan untuk memutihkan kredit kalau sampai jatuh ke NPL, pemupukan pencadangan sudah dimulai dari April sampai Maret tahun depan secara bertahap,” kata Siddik.