TEMPO.CO, Jakarta - Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk Arcandra Tahar menjelaskan ihwal harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) atau Elpiji yang tidak kunjung turun, meski harga minyak mentah atau crude jatuh. Dia menuturkan komposisi gas yang membentuk LPG diasumsikan berasal dari campuran 50 persen propana dan 50 persen Butana.
"Sementara harganya diambil dari harga bulanan Propana dan Butana dari Contract Price Saudi Aramco (CP Aramco)," kata Arcandra dalam Instagramnya, Jumat, 1 Mei 2020.
Selama 2015-2020, koefisien korelasi antara crude dan Elpiji adalah 0,7. Koefisien korelasi 0,7 itu menandakan bahwa selama lima tahun kebelakang naik turunnya harga minyak mentah mempunyai korelasi yang lemah dengan naik turunnya harga LPG. "Sehingga persentasi turunnya harga minyak mentah belum tentu sama dengan persentasi turunnya harga Elpiji," ujarnya.
Dia mengatakan para ahli berpendapat apabila koefisien korelasi komoditi tersebut diatas 0,9, maka dua variable dianggap saling berhubungan erat. Tapi bila di bawah 0,9, hubungannya lemah dan bisa dianggap tidak saling mempengaruhi. Ini dapat dibuktikan dengan mengambil contoh perbandingan harga minyak mentah dan Elpiji pada tahun 2020.
Di bulan Januari 2020, harga ICP = US$ 63,50 per bbl dan harga LPG = US$ 51,67 per bbl. Di bulan Maret 2020, harga ICP turun 39 persen menjadi US$ 38,45 per bbl, sementara harga LPG hanya turun 21 persen menjadi US$ 40,71 per bbl.
"Jadi persentasi turunnya harga minyak mentah tidak sama dengan persentasi turunnya harga LPG karena koefisien korelasinya hanya 0,7," kata Arcandra.
Dia juga mengatakan dampak hak itu terhadap harga harga Elpiji di konsumen. Menururnya, ada sejumlah variabel untuk menentukan harga Elpiji pada tingkat konsumen. Dan terkait hal itu, kata mantan wakil menteri ESDM itu, pemerintah sudah memiliki strategi dan kebijakan yang dimensinya tidak hanya sesaat, tetapi juga untuk kepentingan jangka panjang.