TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi PDIP Deddy Yevri Sitorus menyoroti kinerja PT Garuda Indonesia yang kini tengah dihantam badai pandemi corona atau Covid-19. Hantaman berat ini terutama sejak Garuda tidak dapat menerbangi delapan rute yang sudah berstatus Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), juga disetopnya penerbangan umrah bahkan mungkin juga haji.
“Revenue Garuda Indonesia dari layanan penumpang diperkirakan terpangkas 55 persen sampai akhir tahun 2020,” kata Deddy melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Senin 27 April 2020.
Deddy mengungkapkan, berdasarkan data yang disampaikan kepada Komisi VI DPR RI, pengeluaran tertinggi Garuda Indonesia adalah untuk biaya operasional, sewa pesawat, biaya overhead, serta biaya finansial. “Biaya sewa pesawat itu tinggi jika tidak ada pengurangan jumlah dan nilai kontrak pesawat di masa pandemi Covid-19,” ungkap dia.
Deddy memperkirakan, penurunan kondisi ekonomi makro dan mikro akan semakin memperburuk kondisi Garuda Indonesia meskipun kelak Covid-19 sudah berlalu. Alasannya, beban utang Garuda di antaranya sukuk, sebesar US$ 500 juta yang jatuh tempo pada Juni 2020. Karena itu, Garuda Indonesia membutuhkan setidaknya US$ 600 juta untuk menopang kelangsungan hidupnya sampai akhir tahun 2020. “Total dibutuhkan US$ 1,1 miliar. Apakah Garuda siap untuk ini,” ujar Deddy.
Pandemi corona telah mengguncang industri penerbangan di seluruh dunia. Dalam catatannya, Deddy mengungkapkan ada 117 maskapai dunia yang menghentikan 90 persen penerbangannya, dan 167 perusahaan penerbangan lainnya mengandangkan 40 persen penerbangan yang mengakibatkan jumlah pelancong merosot 87 persen. Diperkirakan volume penerbangan akan kembali normal 3-5 tahun pasca COVID-19 dan harga akan kembali kuat satu tahun setelah Covid-19.
“Segmen bisnis akan lebih cepat pulih dibanding segmen leisure. Akan ada perubahan demand layanan vs cost pasca COVID-19, di mana airlines harus sanggup bertransformasi diri. Apakah Garuda siap untuk ini?” ungkap Deddy.