Lebih jauh Chatib menjelaskan, meskipun memiliki uang, orang akan mengurangi aktifitas belanjanya. "Pola belanja akan bergeser kepada online. Namun tentu ini jumlahnya juga relatif terbatas, karena barang online juga akan tergantung kepada pasokan," tuturnya.
Bila pasokan terganggu akibat aktifitas bekerja terbatas, menurut Chatib, maka upaya mendorong permintaan melalui fiskal juga terbatas. Oleh karena itu, ia menilai bentuk fiskal stimulus juga harus diubah sesuai kondisi agar lebih efektif.
Ia lalu mengusulkan lebih baik pemerintah mengalokasikan fiskalnya untuk program kesehatan. Hal ini didasari atas aktifitas ekonomi akan terganggu akibat berkurangnya interaksi masyarakat. "Misalnya memastikan bila penderitanya COVID-19 menjadi masif, cukup rumah sakit," ucap Chatib.
Selain itu, harus dipastikan kondisi cukup dokter, cukup obat, cukup asuransi bagi penderita. Sehingga negara bisa menanggung. "Setelah kondisi bisa diatasi, dan aktifitas menjadi normal, di mana interaksi terjadi, baru lakukan demand management lagi melalui fiskal," katanya.
Chatib juga menekankan pemerintah harus memastikan bahwa kelompok menengah bawah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. "Mungkin karena terganggunya aktifitas ekonomi, program seperti PKH, BNPT, BLT, Pra Kerja menjadi penting," tuturnya.
Karena besarnya kebutuhan dana ini, Chatib menilai pemerintah perlu melakukan relokasi untuk belanja yang kurang penting, atau bukan prioritas, selain tentunya menaikkan defisit anggaran lebih tinggi.
Hal lainnya yang juga amat penting, menurut Chatib, adalah pemerintah wajib memastikan bahwa stok makanan terkendali. Sebab, kenaikan harga akibat tidak tersedianya stok pangan akan menimbulkan kepanikan. "Setelah situasi kembali normal, barulah standard counter cyclical fiscal monetary untuk mendorong aggregate demand bisa dijalankan dan efektif," ujarnya.
FRISKI RIANA | ADAM PRIREZA