TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri terang-terangan menolak Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah. Faisal menganggap landasan awal pembentukan RUU Omnibus Law yaitu percepatan investasi sebagai hal yang keliru.
“Jauh panggang dari api,” kata Faisal dalam konferensi pers di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta Selatan, Kamis, 27 Februari 2020.
Sejak 12 Februari 2020, pemerintah telah menyerahkan draf RUU Cipta Kerja ini ke DPR. Meski demikian, sampai Selasa, 25 Februari 2020, pimpinan DPR belum membahas RUU yang diusulkan pemerintah ini. Bersamaan dengan proses di DPR ini, sejumlah organisasi masyarakat sipil, pers, hingga serikat buruh terus menolak RUU tersebut.
Faisal menjelaskan bahwa kinerja investasi di Indonesia sebenarnya tidak begitu buruk. Ia membenarkan, investasi di Indonesia kerap jeblok, namun hanya di tahun pemilu. Rinciannya yaitu minus 18,2 persen pada pemilu 1999, minus 45,49 persen pada 2004, 3,29 pada 2009, 4,45 persen pada 2014, dan bertahan 4,45 pada 2019. “Karena barangkali (investor) nunggu-nunggu.”
Tapi jika pertumbuhan investasi tahun pemilu dikeluarkan, kata dia, pertumbuhan investasi Indonesia justru termasuk yang tertinggi. Dari 26 negara emerging market, Indonesia menempati urutan kedelapan. Hanya India dan Filipina saja, dua negara kompetitor, yang lebih tinggi dari Indonesia. “Jadi kita tidak buruk,” ujarnya.
Selain itu, kata Faisal, pemerintah juga melihat kinerja investasi berdasarkan indeks daya saing dan kemudahan bisnis yang diluncurkan World Economic Forum (WEF). Padahal, WEF menyebut masalah terbesar investasi di Indonesia adalah korupsi. “Tapi justru KPK yang dilemahkan,” sindir Faisal.
Masalah kedua adalah inefisiensi birokrasi. Faisal pun menyinggung struktur kementerian di Indonesia yang semakin gemuk. Saat ini, Indonesia memiliki 34 kementerian. Bagi Faisal, jumlah penduduk dan luas wilayah tidak bisa dijadikan alasan. Sebab, Cina yang lebih besar dari Indonesia hanya memiliki 17 kementerian.
Meski demikian, Presiden Jokowi tetap bersikukuh RUU Cipta Kerja ini hadir untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Terbaru, di depan para pengusaha di Australia, Jokowi berjanji untuk terus menciptakan iklim investasi yang lebih baik dengan Omnibus Law.
“Kali ini saya akan mencoba dengan memperkenalkan omnibus law. Omnibus law akan menyederhanakan banyak regulasi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif," kata Jokowi dalam sambutan berbahasa Inggris di forum "Indonesia-Australia Business Roundtable" di Canberra, Australia, Senin, 10 Februari 2020.
Setali tiga uang, Staf Khusus Jokowi Bidang Hukum, Dini Purwono, mengakui jika salah satu tujuan RUU Cipta Kerja ini adalah untuk membuat investor di Indonesia tidak kabut. Salah satunya menyangkut formula baru upah minimum.
Selama ini, Dini menyebut banyak pemodal yang kabur karena tingginya upah minimum di Indonesia. "Kalau dari para konsultan membandingkan negara-negara tetangga, suka tidak suka UMR Indonesia jauh di atas rata-rata negara lain," kata Dini dalam diskusi di Kantor Sekretariat Kabinet, di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat, 21 Februari 2020.
Dalam kondisi itu, Dini mengatakan banyak investor lebih melirik pada negara yang memiliki biaya paling rendah. Alhasil, ia mengatakan investasi di Indonesia menurun. Jika dibiarkan, investor yang sudah ada juga bisa ikut pergi untuk mencari negara yang lebih murah.