TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia atau BI memutuskan untuk menurunkan rasio Giro Wajib Minimum atau GWM sebesar 50 basis poin menjadi 5,5 persen untuk bank umum konvensional dan 4 persen untuk bank umum syariah atau unit usaha syariah. Dengan penurunan ini, rerata rasio GWM masing-masing tetap sebesar 3 persen.
"Kebijakan ini ditempuh guna menambah likuiditas perbankan sehingga bisa meningkatkan pembiayaan dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Serta untuk menjaga adanya transmisi bauran kebijakan moneter," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat mengelar konferensi pers di kantornya, Kamis 21 November 2019.
Adapun kebijakan ini akan mulai berlaku efektif pada 2 Januari 2020. Kebijakan ini diambil dengan mengikuti siklus kebijakan fiskal yang sangat besar pada triwulan III 2019. Kebijakan ini diambil karena BI juga memandang bahwa selama ini pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan belum terdistribusi secara merata di sejumlah jenis Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) I, II dan III.
Perry menjelaskan, sejalan dengan penurunan rasio GWM perbankan bakal mendapatkan tambahan likuiditas sebanyak Rp 24,1 triliun untuk bank umum konvensional dan Rp 1,9 triliun untuk bank umum syariah. Jika ditotal jumlah tambahan likuditas bank bisa mencapai Rp 26 triliun.
"Dengan penurunan rasio ini diharapkan bisa menambah seluruh bank untuk bisa menyalurkan kredit. Sementara permintaan kredit dari korporasi diharapkan juga meningkat dengan semakin membaiknya kepercayaan ekonomi domestik ke depan," kata Perry.
Sementara itu, dalam konferensi pers tersebut Bank Indonesia mengumumkan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 5,00 persen. Selain itu, suku bunga lending facility dan deposit facility juga tetap dipertahankan pada level 5,75 persen dan 4,25 persen.
"Selain itu, kebijakan moneter akan tetap akomodatif dan konsisten dengan perkiraan inflasi terkendali pada kisaran sasaran. Selain itu, stabiltias eksternal dan bisa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah menurunnya ekonomi global," ujar Perry.